Rabu, 26 Februari 2014

SERIAL MANAJEMEN SDM SYARIAH SIAPA SDM TERBAIK DI MUKA BUMI SEPANJANG PERADABAN MANUSIA? Merujuk sesuatu yang dapat dijadikan model pastinya akan merujuk kepada sesuatu yang terbaik dan sudah terbukti, bukan hanya sisi konseptualnya tetapi juga aplikasinya. Oleh karena itu ketika berbicara tentang kualitas sumberdaya manusia yang mana - yang dapat dijadikan rujukan , pastinya akan mengacu kepada sesuatu yang terbaik, itulah metode “benchmarking” dalam konteks manajemen masa kini. Sejarah peradaban manusia telah mengakui bahwa ketika berbicara tentang kualitas manusia terbaik, maka kita akan merujuk kepada suatu era dimana disitu berkumpul manusia-manusia terbaik sebagai buah dari proses pendidikan,pembinaan dan pelatihan dari Insan yang terbaik yakni Rasulullah SAW, dan hasil dari proses tersebut adalah 3 (tiga) yakni generasi pada era Rasulullah SAW dan 2 (dua) generasi sesudah beliau. Hal ini dapat kita ketahui melalui hadist dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650) Tiga generasi sebagaimana tersebut diatas adalah merupakan generasi terbaik umat ini , dan pada tiga kurun ini dalam peradaban manusia dikenal merupakan kurun terbaik dari umat ini, yang tidak akan ada generasi berikutnya yang mampu menyamainya. Ciri terpenting dari generasi terbaik ini adalah , mereka telah mendapat keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka pun ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100). Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mengikuti generasi terbaik ini (para sahabat) . Untuk berjalan di atas jalan yang mereka tempuh. Berperilaku selaras apa yang telah mereka perbuat. Menapaki manhaj (cara pandang hidup) sesuai manhaj mereka. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ “Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15) Oleh karena itu, metode “benchmarking” dalam pengelolaan manajemen sumberdaya manusia syariah bukan sekedar sebuah pendekatan manajemen belaka, tetapi memiliki dimensi “ibadah” sebagai wujud ketaatan kepada Allah SWT dalam melaksanakan perintahnya sebagaimana tersebut diatas. Atas dasar fakta-fakta sejarah yang ada serta dalil-dalil yang shahih dari Allah SWT dan Rasululloh SAW, maka kemudian Imam Malik ra membuat sebuah rumusan gemilang yang itu menjadi dasar “benchmarking” bagi pengelolaan manajemen sumberdaya manusia syariah kini dan yang akan datang, adalah sbb : Imam Malik rahimahullah berkata, ” Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang membuat generasi awalnya menjadi baik “.(Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam at-Tamhid 15/292, tahqiq Usamah bin Ibrahim dan Ibnu al-Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan min Mashayidhisy Syaithon 1/313, tahqiq Khalid ‘Abdul Lathif as-Sab’il ‘Alami. ) Sebuah ungkapan sarat makna, yang memberikan pembelajaran bagi siapapun yang ingin menuai kesuksesan,kegemilangan dalam urusan mencetak atau melahirkan kualitas sumberdaya manusia syariah yang terbaik. Maka baginya mestilah ber “kiblat” pada segala hal yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, beserta generasi para sahabatnya di era generasi terbaik tadi. Dari rekaman sejarah Rasulullah SAW dalam rangka melahirkan generasi-generasi terbaik ummat ini, Aspek Tauhid menjadi perkara pertama dan utama yang ditanamkan dan yang diajarkan kepada sasaran, hal ini terekam dalam sebuah peristiwa sejarah Ketika Rasulullah SAW mengutus Mu'adz Ibn Jabal ke Yaman, Rasulullah berwasiat kepadanya:"Wahai Mu'adz, sesungguhnya kau akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah perkara yang pertama kali kau serukan adalah beribadah kepada Alla (Tauhid). Bila mereka telah beriman, maka sampaikanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam.(HR.Bukhori No.1425). Menjadi terang benderang bagi siapapun yang berkiprah dalam kancah Ke-Islaman, termasuk ekonomi syariah dengan para praktisi didalamnya, bahwa pondasi bagi penumbuhkembangan sumberdaya manusia syariah adalah Tauhid yang pertama dan utama untuk diajarkan, untuk dijadikan kurikulum pendidikan maupun pelatihan dan pembinaan mereka

Selasa, 11 Februari 2014

"Fenomena SDM Syariah Kontemporer" cuplikan dari Buku Manajemen HRD Syariah oleh Agus Siswanto dkk

Perkembangan ekonomi Syariah yang semakin hari semakin tampak memunculkan fenomena baru khususnya pada sisi para praktisinya. Jika pada awal kemunculannya ekonomi Islam diusung oleh insan-insan yang konsisten dengan ajaran Islam, mereka mendasarkan aktifitas ekonominya karena ideologi yang muncul dari kekuatan iman maka fenomena terkini menunjukan adanya penurunan kualitas tersebut. Penurunan kualitas yang dimaksud adalah munculnya praktisi ekonomi syariah yang bukan berasal dari rahim lembaga pendidikan Islami atau bukan dari Islam itu sendiri. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi ketika ekonomi Islam semakin berkembang dan menggiurkan bagi seluruh pelaku ekonomi maka siapa saja akan tertarik untuk mencicipi kelezatannya. Demikian juga orang-orang di luar Islam yang menginginkan mendapatkan “keberkahan” dari booming ekonomi Syariah ini. Jika penurunan kualitas adalah karena masuknya praktisi non-muslim yang terjun dalam ceruk bisnis ini tentu tidak menjadi masalah. Mudah-mudahan mereka akan tertarik tidak hanya kepada ekonomi syariah namun juga Islam sebagai agama yang komprehensif dan sempurna. Namun fenomena yang terjadi dan sangat memprihatinkan adalah para praktisi ekonomi syariah yang notabene adalah muslim namun mereka terjuan ke bisnis berbasis syariah ini hanya sekadar mencari keuntungan keduniaan yang terkadang tidak mempedulikan apa yang sebenarnya sedang mereka kerjakan. Fenomena para praktisi ekonomi syariah yang saat ini tampak seiring dengan perkembangan ekonomi syariah adalah munculnya para pelaku ekonomi ini yang bukan didasarkan kepada ideologi atau keimanan, namun hanya didasarkan pada kebutuhan akan pekerjaan, mendapatkan keuangan yang mapan atau hanya mengikuti trend pasar. Di antara fenomena yang merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi syariah adalah: 1. Lemahnya Tauhid. Tauhid adalah pondasi dasar keimanan seseorang, ia menjadi basis bagi pemahaman keagamaan bagi seluruh umat Islam. Tauhid yang dimaksud adalah keyakinan hanya Allah saja yang berhak untuk diibadahi, disembah, ditakuti, diharapkan dan segala hal harus dikembalikan kepada takdirNya. Seorang praktisi ekonomi syariah yang memahami tauhid dengan benar akan berusaha untuk semaksimal mungkin setiap aktifitas dan tindakannya adalah ditujukan hanya untuk Allah ta’ala saja, dalam bahasa lainnya yaitu “lillah”. Khususnya dalam masalah aktiftas pekerjaannya sebagai seorang praktisi ekonomi syariah, ia akan menyadari bahwa pekerjaannya bukan saja untuk memperoleh materi namun lebih dari itu adalah melaksanakan hukum-hukum Allah ta’ala dalam bentuk bisnis dan ekonomi. Seseorang yang memiliki tauhid yang kokoh akan percaya bahwa setiap tindakannya akan senantiasa diawasi oleh Allah ta’ala sehingga tidak ada waktu sedetikpun untuk berusaha melanggar syariah-Nya. Sebagai contoh seorang yang memiliki keyakinan tauhid yang kokoh tidak akan berani melakukan aktiftas ekonomi yang melanggar nilai-nilai syariah, demikian pula ia tidak akan mau mencampur adukan antara ekonomi ribawi dan ekonomi syariah. Ia tidak mau melakukan kegiatan yang memberikan mudharat kepada dirinya sendiri dan juga bagi orang lain. Intinya seorang praktisi yang bertauhid akan meyakini bahwa setiap tindakannya akan dimintai pertanggunganjawab di akhirat. Fenomena yang terjadi adalah bahwa para praktisi ekonomi syariah masih menganggap bahwa pekerjaannya walaupun di bidang ekonomi syariah tidak berkaitan langsung dengan tauhid, mereka menganggap bahwa kerja ya kerja dan agama ya agama. Tentu saja ini adalah pemikiran sekuler yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang komprehensif di mana Islam tidak membedakan apakah urusan bisnis dan agama. Solusi yang bisa dilakukan adalah mengadakan berbagai training keagamaan yang bisa meningkatkan keimanan dan ketauhidan para praktisi ekonomi syariah. Misalnya dengan kajian mingguan, atau tarbiyah yang berkesinambungan.