Sabtu, 18 Desember 2010

Tips Ekonomi Syariah : PERSAINGAN USAHA DALAM TINJAUAN EKONOMI ISLAM

PERSAINGAN USAHA DALAM TINJAUAN EKONOMI ISLAM
Oleh : Agus Siswanto, ME.I

A. PENDAHULUAN

Urgensi bisnis tidak bisa dipandang sebelah mata, bisnis selalu memegang peranan penting didalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa. Hal ini pun masih berlaku di era kehidupan kita sekarang. Karena kekuatan ekonomi memiliki kesamaan makna dengan kekuatan politik, sehingga urgensi bisnis mempengaruhi semua tingkat individu,sosial ,regional, nasional dan internasional. Tidaklah mengherankan apabila jutaan muslim dewasa ini terlibat dalam berbagai kegiatan bisnis atau yang lainnya.

Keterlibatan ummat muslim dalam dunia usaha atau bisnis bukan merupakan hal baru,sebab sejak empat belas abad yang lalu Islam menganjurkan ummatnya untuk melakukan kegiatan bisnis. Rasulullah SAW sendiri pada masa awal kehidupannya sudah terlibat dalam dunia bisnis sebagai mitra dari seorang usahawan yang bernama Khadijah. Islam dalam konteks sejarahnya telah menempuh suatu perjalanan panjang yang tidak dapat dilepaskan dari sebuah sistem perekonomian, sebagaimana yang lazim dijalankan oleh Rasulullah SAW sejak kecil bersama pamanya Abu Thalib. Mereka berdagang ke berbagai pelosok jazirah Arab,kemudian berlanjut dengan melakukan hubungan ekrjasama antara Nabi SAW dengan Siti Khadijah,baik sebelum maupun setelah beliau menikahinya.

Namun ummat muslim dewasa ini mengalami berbagai fenomena yang mau tidak mau harus dihadapai seiring dengan semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan dunia bisnis itu sendiri. Dan fenomena tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah yang disebut dengan persaingan usaha. Persaingan usaha adalah merupakan suatu hal yang natural terjadi dalam dunia usaha. Persaingan usaha memiliki berbagai kemungkinan atas dampak yang ditimbulkannya. Bilamana persaingan tersebut dilakukan secara sehat maka tentu hal tersebut akan menimbulkan suatu iklim berusaha yang sehat pula, akan tetapi bilamana persaingan itu dilakukan secara curang atau jahat maka tentu dampaknyapun akan menyebabkan kemaslahatan pada pihak-pihak tertentu yang dirugikan. Oleh karena itu bagaimana Islam bebricara tentang persaingan usaha, pada makalah kali ini penulis mencoba untuk menggali wacana persaingan usaha dalam pandangan Islam serta bagaimana fenomena persaingan usaha dalam praktek-praktek dunia bisnis modern pada saat ini akan dibicarakan sebagai “background” dalam pembahasan makalah ini.

B. KARAKTERISTIK BISNIS SECARA UMUM

Tujuan terpenting dari ekonomi kapitalisme maupun sosialisme adalah memperoleh keuntungan materi, bukan prinsip-prinsip lain. Tujuan tersebut menimbulkan persaingan sengit antara kubu berbagai negara untuk mengusaai ekonomi, monopoli pasar dan sumber-sumber bahan baku di berbagai negeri.
Hampir menjadi suatu doktrin bahwa dalam sistem perekonomian modern,orang dituntut untuk bersaing dan bekerja sama satu sama lain. Persaingan (competition) dan kerja sama (cooperation) adalah iklim,kondisi, dan locus perekonomian global. Harus disadari bahwa kompetisi dan kooperasi tersebut merupakan “game” ekonomi global yang demikian ketat tanpa mengenal adanya batas perlindungan dan dukungan politik tertentu .
Secara umum suatu bisnis pasti memiliki tujuan mutlak untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan korbanan biaya atau yang sejenisnya dengan sekecil-kecilnya. Paradigma tersebut hampir menjadi sebuah dogma bagi siapa saja yang bergerak atau terjun kedalam dunia usaha. Bahkan dikalangan ummat Islam pun dogma ini selalu dan masih terngiang-ngiang, wajar karena sejak dari dini dalam muatan-muatan pendidikan sejak dari mula sampai perguruan tinggi diajarkan bahwa yang namanya prinsip-prinsip ekonomis adalah memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Dogma ini pun kemudian pada akhirnya menjadi sebuah kenyataan yang tidak terelakkan ketika mereka secara langsung kaum muslimin bergerak membuka usaha.
Secara logis dogma tersebut benar-benar mengesampingkan akan etika usaha atau etika bisnis, karena bisa jadi ketika mengikut norma-norma etika bisnis, keuntungan yang diperoleh tidak maksimal,bahkan membutuhkan suatu korbanan biaya yang tinggi. Oleh karena itu menjadi sangat penting bagi kaum muslimin dengan basic tauhid dan keimanannya mengacu pada ajaran Islam dalam melakukan berbagai transaksi usaha. Sebab bisa jadi dalam pandangan manusia usaha atau bisnis tersebut sekilas merugi,tidak efisien,atau efektip karena konsisten dalam mengikut kaidah etika bisnis yang syarí, tetapi dalam pandangan atau perspektip Illahiah, bisnis tersebut membawa “keberkahan”yang tidak dapat terukur secara nominal sekalipun. Wallahu Álam.

C. PERSAINGAN USAHA DALAM KANCAH BISNIS

Selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik-praktik usaha antipersaingan yang cenderung bertolak belakang dengan prinsip-prinsip good corporate governance subur dan berkembang di Indonesia. Praktik persekongkolan (conspiracy) untuk menentukan pemenang di dalam sebuah tender adalah satu dari sekian banyak praktik antipersaingan yang seringkali ditemui di dalam kegiatan bisnis di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu elemen terpenting dalam terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat sangat bergantung pada efektivitas penerapan nilai-nilai atau prinsip pengelolaan perusahaan yang baik di dalam sebuah perusahaan. Penerapan prinsip fairness (kewajaran), disclosure dan transparency (Transparansi), accountability (akuntabilitas), dan responsibility (responsibilitas) di dalam perusahaan seharusnya dijadikan sebagai pedoman para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha .

Persaingan usaha merupakan sesuatu yang wajar terjadi, karena bagaimanapun secara nyata bahwa mekanisme pasar akan senantiasi menciptakan persaingan usaha. Dimana ketika di “pasar”mengalami kondisi over suplay , sementara permintaan (demand) relatip tetap maka harga akan menjadi cenderung turun, sehingga kemudian dengan sendirinya akan menimbulkan persaingan diantara pelaku pasar untuk memperebutkan ‘segmen pasar”yang ada . Begitu juga ketika kondisi pasar ärus “suplay” barang relatip tetap , sementara permintaan meningkat maka harga di pasar akan cenderung naik. Tentu adanya kenaikan harga pasti sangat menggiurkan para pelaku usaha untuk dapat meningkatkan omset penjualan yang setinggi-tingginya, sehingga mau tidak mau terjadilah persaingan usaha.

D. POLA POLA PERSAINGAN USAHA YANG NEGATIP

Ketika mekanisme pasar berlangsung secara wajar dan “fairness” maka persaingan usaha adalah merupakan suatu kewajaran pula. Ketidakwajaran terjadi manakala para pelaku pasar dengan berbagai cara atau kiat melakukan praktek-praktek negatip dalam berusaha. Berikut digambarkan tentang praktek-praktek negatip dalam persaingan usaha yang hampir mayoritas pelaksanaanya bermuara pada praktek yang disebut dengan monopoli.

MONOPOLI
Monopoli merupakan penguasaaan lebih dari 50% pangsa pasar atas komoditi tertentu oleh stu atau gabungan beberapa perusahaan. Oleh banyak kalangan,monopoli dinilai sangat tidak sehat dan mengganggu jalannya mekanisme pasar yang kompetitip. Sebab monopoli pasar atas komoditi tertentu tersebut membahayakan kepentingan masyarakat luas,terutama konsumen produk yang dimonopoli. Kepentingan konsumen terhadap produk dengan harga wajar dan berkualiotas baik dapat terancam karena ulah satu atau beberapa pengusaha yang memeonopoli pasar komoditi tertentu itu dengan seenaknya mensuplai produk yang bermutu rendah tetapi dengan harga yang tinggi.
Selain itu dimonopolinya suatu produk akan menimbulkan derajat inefisiensi ekonomi yang tinggi karena tidak adanya persaingan yang sehat atas produk tersebut. Dalam situasi dimana tidaka da persaingan atas pengadaan produk tertentu maka perusahaan yang memegang monopoli tidak akan tertarik atau termotivasi untuk menjaga efisiensi dalam produk yang mereka hasilkan. Situasi seperti ini dapat mengakibatkan terjadinya pemborosan sumberdaya,terutama sumber daya alam.

Monopolistik dibidang ekonomi menjadi semakin buruk dan sangat membahayakan kepentingan masyarakat secara keseluruhan bila monopolistik tersebut diciptakan dan didukung oleh pemerintah (pengusas\ politik). Keadaan seperti ini jelas-jelas dapat mematikan jalannya mekanisme pasar yang sehat dna kompetitip. Bila keadaan seperti ini terus dibiarkan maka akan dapat melumpuhkan sistem politik yang demokratis.

Monopoli pengadaaan dan pemasaran suatu produk dapat terjadisecara natural, hal ini disebabkan oleh kemampuan dalam memproduksi suatu produk tertentu dengan kemampuan manajemen yang sangat efisien sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga relatif murah sehingga perusahaan tersebut dapat mengalahkan pesaing-pesaingnya, yang pada akhirmya mampu memonopoli dan mengontrol pasar. Hanya secara realita praktek monopoli seperti ini amat sulit dicapai.

Selain itu monopoli pengadaan dan pemasaran suatu produk tertentu dapat terjadi secara wajar (reasonable) bilamana perusahaan tersebut menemukan resep-resep teknologi tertentu, sehingga dengan penemuan tersebut perusahaan menjadi sangat efisien dalam memproduksi suatu barang dengan biaya yang murah dengan kualitas yang lebih baik. Kemudian hasil penemuan tersebut dipatenkan . Dengan diperolehnya hak paten maka perusahaan tersebut memonopoli pengadaan dan pemasaran teknologi tersebut. Sebagai catatan hak paten tidak diberikan untuk seumur hidup tetapi ada jangka waktu berlakunya.

Pola monopoli bagi pengadaan dan pemasaran suatu produk dapat pula diakibatkan oleh kebijakan pemerintah, contoihnya pemerintah memberikan izin hanya kepada satu atau dua perusahaan untuk memproduksi produk tertentu seperti terigu,semen,plastik atau baja. Lalu pemerintah memberikan proteksi atau perlindungan yang tinggi terhadap perusahaan tersebut. Bentuk proteksi tadi bisa berupa larangan adanya impor dari barang sejenis, dan kalaupun impor diperbolehkan maka pemerintah mengenakan tarif bea masuk yang tinggi sehingga tidak dapat berkompetisi dengan produk dari perusahaan yang diproteksi tadi, sehingag dengan begitu perusahaan yang diproteksi tadi dapat mencapai kedudukan monopolistik.

Praktek monopoli atas pengadaan dan pemasaran suatu produk dapat terjadi karena proses-proses .yang tidak wajar. Proses speerti ini misalnya terjadi melalui penggabungan secara horisontal (horizontal merger) beberpa jenis perusahaan. Contohnya, beberpa perusahaan semen bergabung dengan tujuan menguasai pasar dan mendiktekan harga tertentu atas produk semen tersebut. Merger ini dapat mengganggu mekanisme pasar yang sehat dan kompetitip.

Modus lainnya dapat dilakukan dengan cara praktek-prektek persaingan yang tidak sehat, atau curang. Contohnya, beberpa perusahaan plastik tidak melakukan merger horisontal, tetapi ada empat perusahaan plastik yang menguasai 70% pangsa pasar, mereka kemudian membaut kesepekatan harga (price agreement) jual atas produk tersebut. Tindakan ini jelas merugikan konsumen dna mengganggu mekanisme pasar yang sehta dan kompetitif. Tindakan lainnya dapat pula berupa terjadi melalui diskriminasi harga (price discrimination). Contohnya, sebuah perusahaan yang mengadakan bahan baku, memberikan harga yang lebih murah kepada suatu .perusahaan tertentu , tetapi memberikan harga yang mahal bahkan sangat mahal keapada perusahaan lain. Dalam prakteknya misalnya, perusahaan yang mengadakan bahan baku benang menjual dengan harga lebih murah kepada perusahaan tekstil tertentu karena perusahaan tersebut memiliki saham pada perusahaan tekstil tadi. Sedangkan kepada perusahaan tekstil pada umumnya ., perusahaan benang tadi memberikan harga yang lebih mahal. Kebiajakan diskriminasi harga ini pada akhirnya dapat menimbulkan persaingan yang timpang dan pada gilirannya dapat melahirkan ekadaan yang monopolistik yang merugikan konsumen.

Praktek Monoopoli di Indonesia
Menurut pengamatan Nurimansyah Hasibuan yang dikutip oleh Abdul Hakim G Nusantara, bahwa sumber-sumber yang dapat menjadi penyebab bagi industri yang melahirkan praktik monopoli adalah sebagai berikut :
1. Kemajuan Teknologi
2. Perlindungan yang berlebihan.
3. Adanaya rekayasa entry barrier
4. Keringanan pajak dan subsidi.
5. Merger diantara perusahaan sejenis.

E. TINJAUAN MENGENAI UNDANG-UNDANG RI NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
2. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persai ngan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
3. Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.
4. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
5. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
6. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
7. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
8. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
9. Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.
10. Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.
11. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keseragaman produk, sitem disttribusi, dan penguasaan pangsa pasar.
12. Perilaku pasar adalah tindakan uyang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kapasitasnya sebagai pemasok atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaingan yang digunakan.
13.Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
14. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.
15. Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
16. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
17. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
18. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
19. Pengadilan Negeri adalah pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, di tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pasal 3
Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a. menjaga kepentinganumum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
BAB III
PERJANJIAN YANG DILARANG
Bagian Pertama
Oligopoli
Pasal 4
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedua
Penetapan Harga
Pasal 5
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

Pasal 6
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
Pasal 7
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 8
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keempat
Pemboikotan
Pasal 10
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.

Bagian Kelima
Kartel
Pasal 11
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keenam
Trust
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau peeseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan angggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketujuh
Oligopsoni
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau pesaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedelapan
Integrasi Vertikal
Pasal 14
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat
Bagian Kesembilan
Perjanjian Tertutup
Pasal 15
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok
Bagian Pertama
Monopoli
Pasal 17
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
Bagian Kedua
Monopsoni
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dan 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.


BAB IV
KEGIATAN YANG DILARANG
Bagian Ketiga
Penguasaan Pasar
Pasal 19
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Pasal 20
Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dan komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

BAB IV
KEGIATAN YANG DILARANG
Bagian Keempat
Persekongkolan
Pasal 22
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dan jumlah, kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
F. KONSEP ISLAM DALAM PERSAINGAN USAHA:
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan). Memang, kerjasama adalah tema umum dalam organisasi sosial Islam. Individualisme dan kepedulian sosial begitu erat terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain merupakan cara yang paling memberikan harapan bagi pengembangan daya guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT. Jadi Islam mengajarkan kepada para pemeluknya agar memperhatikan bahwa perbuatan baik ('amal sâlih) bagi masyarakat merupakan ibadah kepada Allah dan menghimbau mereka untuk berbuat sebaik-baiknya demi kebaikan orang lain. Ajaran ini bisa ditemukan di semua bagian Al-Qur'an dan ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri. Prinsip persaudaraan (ukhuwwah) sering sekali ditekankan dalam Al-Qur'an maupun Sunnah, sehingga karena itu banyak sahabat menganggap harta pribadi mereka sebagai hak milik bersama dengan saudara-saudara mereka dalam Islam. Kesadaran dan rasa belas kasihan kepada sanak keluarga dalam keluarga besar juga merupakan contoh orientasi sosial Islam yang lain, karena berbuat baik (ber'amal salih) kepada sanak keluarga semacam itu tidak hanya dihimbau tetapi juga diwajibkan dan diatur oleh hukum (Islam). Kerukunan hidup dengan tetangga sangat sering

Dalam Islam azas kebebasan dalam berekonomi merupakan sesuatu hal yang sangat fundamental. Kebebasan ekonomik adalah tiang pertama dalam struktur pasar Islami, yang didasarkan atas ajaran-ajaran fundamental Islam, diantaranya prinsip tanggung jawab dan kebebasan sebagaimana tertuang berikut ini.
Sejarah Kebebasan Ekonomi di Kalangan Umat Muslim
Sepanjang sejarah umat Muslim, kebebasan ekonomi sudah dijamin dengan berbagai tradisi masyarakat dan dengan sistem hukumnya. Nabi SAW tidak bersedia menetapkan harga-harga walaupun pada saat harga-harga itu membumbung tinggi. Ketidaksediaannya itu didasarkan atas prinsip tawar-menawar secara sukarela dalam perdagangan yang tidak memungkinkan pemaksaan cara-cara tertentu agar penjual menjual barang-barang mereka dengan harga lebih rendah daripada harga pasar selama perubahan-perubahan harga itu disebabkan oleh faktor-faktor nyata dalam permintaan dan penawaran yang tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan monopolik maupun monopsonik. Lebih dari itu, Nabi SAW berusaha sungguh-sungguh untuk memperkecil kesenjangan informasi di pasar ketika beliau menolak gagasan untuk menerima para produsen pertanian sebelum mereka sampai di pasar dan mengetahui benar apa yang ada di sana. Beliau sangat tegas dalam mengatasi masalah penipuan dan monopoli (dalam perdagangan), sehingga beliau menyamakan kedua dengan dosa-dosa paling besar dan kekafiran.
Setelah Nabi SAW dan selama berabad-abad dalam sejarah Islam, umat Muslim mempertahankan prinsip kebebasan yang senantiasa dilaksanakan ini. Konsep pengendalian perilaku moral di pasar itu dilaksanakan oleh Nabi sendiri. Selama beberapa abad pertama Hijriyyah, sejumlah pakar menulis buku-buku tentang peranan dan kewajiban-kewajiban pengendali pasar, atau al-Muhtasib itu. Tema yang terkandung dalam semua tulisan ini adalah pelestarian kebebasan di pasar dan penghapusan unsur-unsur monopolistik. Prinsip kebebasan tersebut dipertahankan oleh banyak qâdî (hakim) Muslim yang bahkan sampai mengancam sistem hukum itu sendiri dengan mencabut hak untuk ikut campur dalam kasus monopoli. Hal ini benar-benar telah mendorong Ibnu Taimiyyah menulis bukunya, Al-Hisbah fi al-lslâm, untuk menunjukkan bahwa kebebasan ekonomik individual harus dibatasi dalam hal-hal serupa itu, bahkan termasuk pembatasan-pembatasan itu adalah penentuan harga barang-barang dan jasa.
Dengan latar belakang ini, dalam rangka mengemukakan definisi kebebasan ekonomi yang dimaksudnya, Ibnu Taimiyyah secara meyakinkan dapat memberikan pernyataan tegas bahwa individu-individu sepenuhnya berhak menyimpan harta milik mereka, dan tidak ada seorang pun berhak mengambil semua atau sebagian daripadanya tanpa persetujuan mereka secara bebas, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana mereka diwajibkan melepaskan hak-hak tersebut.
Maulânâ Abul A'lâ Maudûdî menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, individulah yang penting dan bukan komunitas, masyarakat atau bangsa. Dia berpendapat bahwa individu tidak dimaksudkan untuk melayani masyarakat, melainkan masyarakatlah yang benar-benar harus melayani individu. Tidak ada satu komunitas atau bangsa pun bertanggung jawab di depan Allah sebagai kelompok; setiap anggota masyarakat bertanggung jawab di depan-Nya secara individual. Alasan yang bebas dan tertinggi dari adanya sistem sosial adalah kesejahteraan dan kebahagiaan individu, bukan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dari sinilah ukuran yang benar dari suatu sistem sosial yang baik adalah batas yang membantu para anggota masyarakat untuk mengembangkan kepribadian mereka dan meningkatkan kemampuan personal mereka.
Berdasarkan hal itulah Islam tidak menyetujui ada organisasi sosial dan rencana kesejahteraan sosial apa pun bila ia menekan individu-individu dan mengikat mereka begitu kuat dengan otoritas sosial, sehingga kepribadian mereka yang bebas akan hilang dan sebagian besar diantara mereka menjadi sekedar mesin atau alat yang berada di tangan orang-orang lain yang berjumlah kecil.
Dalam bukunya, The Economic Enterprise in Islam, M.N. Siddîqî menyatakan bahwa Islam memberikan kepercayaan sangat besar kepada mekanisme pasar. Beberapa implikasi dari doktrin kebebasan ekonomi dalam Islam tersebut, dalam kaitannya dengan pasar, dapat dibaca dalam pikiran-pikiran Ibnu Taimiyyah sebagai berikut:
1. orang-orang bebas masuk dan meninggalkan pasar.
2. Tingkat informasi yang cukup mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan barang-barang dagangan (komoditas) adalah perlu. Ibnu Taimiyyah meneliti beberapa kontrak (perjanjian) di mana salah satu pihak yang terlibat tidak bertindak sesuai dengan persyaratan ini, sementara dia memberikan kepada pihak lainnya kesempatan untuk meninjau kembali kontrak itu. Dia juga menganggapnya sebagai tanggung jawab pemerintah (al-Muhtasib) untuk memperbaiki situasi tersebut.
3. Unsur-unsur monopolistik harus dilenyapkan dari pasar. Ibnu Taimiyyah tidak membolehkan berbagai koalisi profesional, baik yang terdiri dari kelompok-kelompok penjual maupun pembeli. Dia membolehkan al-Muhtasib untuk ikut campur tangan dan menentukan harga barang-barang sejenis kapan saja unsur-unsur monopolistik menampilkan diri di pasar.
4. Dalam batas kebebasan ini, dia mengakui berbagai peningkatan permintaan dan penawaran yang disebabkan oleh harga-harga tersebut. Dia menyetujui penaikan harga-harga yang disebabkan olehnya, karena "memaksa orang untuk menjual barang dengan harga yang ditentukan sama dengan pemaksaan tanpa hak," dan meskipun si penjual seharusnya tidak dipaksa untuk kehilangan laba tetapi pada saat yang sama dia seharusnya tidak diperbolehkan merugikan orang lain.
Setiap penyimpangan dari pelaksanaan kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah palsu, penimbangan yang tidak tepat, dan niat buruk dikecam oleh para penulis Muslim, demikian juga memproduksi dan memperdagangkan barang-barang dagangan (komoditas) yang tercela karena tidak baik dari alasan-alasan kesehatan ataupun moral sesuai dengan norma-norma Qur'ânî, seperti minuman-minuman beralkohol, minuman-minuman keras, pelacuran dan perjudian.

Etik “tijaratan án taradlin minkum”

Etika tersebut di atas didasari oleh Firman Allah dalam Quran Surat 4 ayat 29 yang artinya

“Hai orang –orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka-sama suka diantara kamu (“tijaratan án taradlin minkum”) , Dan janganlah kamu membunuh dirimu: Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”

Mustaq Ahmad membahas makna ayat ini berkenaan dengan transaksi bisnis yang memenuhi syarat adanya saling rela diantara pelakunya, tidak bisa disebut saling rela manakala didalamnya masih ada tekanan,penipuan,atau mis statement yang digunakan salah satu pihak yang melakukan transaksi. Dalam bahasan yang lebih mendalam disebutkan 3 prasyarat agar bisnis terjadi sebagai sebuah kesepakatan mutual yang saling rela diantara pelakunya untuk mendapatkan ridlo Allah SWT , yakni :
a. Dalam transaksi bisnis haruslah dihindari segala bentuk paksaan atau upaya-upaya sejenis yang serupa atau mengarah kepada situasi dan kondisi salah satu pihak dalam posisi yang tidak bebas atau terpaksa. Dalam implementasinya pada saat transaksi berlangsung bahwa barang yang akan diperjualbelikan hendaknya dinegosiasikan dan ditetapkan atas dasar kesepakatan mutualistik.
b. Transaksi harus terbebas dari unsur-unsur penipuan atau bentuk-bentuk lain yang serupa dengannya. Sebab penipuan dan kelicikan sangat dikutuk oleh Al-Quran (Lihat pada QS 7:86; 61:2-3; 24:47-48; 4:2 ; 11: 85-86). Mereka diharuskan melakukan transaksi dengan cara yang jelas,transparan, jujur dan adil. Tujuannya adalah agar para pihak sedari awal terproteksi, sehingga salah satu pihak nantinya tidak terjebak kedalam trik-trik bisnis yang dapat menimbulkan perselisihan dan sengketa bisnis. Untuk itu Quran sangat menekankan bahwa dalam kontrak-kontrak kesepakatan antara dua belah pihak harus terdokumentasi dengan baik dengan saksi-saksi yang kompeten (QS 2 :282)
c. Transaksi harus terbebas dari kedustaan, sebab perilaku dusta adalah salah satu dosa besar dalam Al-Quran (QS 6 : 93 ; 16:116; 3:61) , selain itu Al-Quran memerintahkan kepada setiap muslim untuk menghindari semua bentuk statemen palsu (al-qaul az-zuur) (QS 22:30). Hal ini menjadi sangat berimbang dalam reward and punishment dari Allah SWT bagi hamba-Nya, sebab bagi mereka yang pembohon jelas sangat dimurkai oleh Allah SWT (3:61 ; 16:116). Sementara mereka yang bertindak jujur sangat dipuji dan disanjung oleh Allah SWT (QS 19:41 dan 56). Dan Al-Quran pun memerintahkan kepada setiap muslim untuk berlaku jujur dan jangan sampai gagal melakukan hal tersebutndan hendaknya memegang teguh nilai-nilai kejujuran tersebut (QS 39:32-34).

Etik perilaku dalam bisnis :
Secara garis besar Islam tidak menafikan adanya persaingan usaha dalam bisnis dalam rangka mencapai suatu keadaan yang “fair” bagi konsumen dalam memperoleh layanan dan harga yang terbaik dan kompetitip, tetapi Islam juga memberikan rambu-rambu sebagai bingkai bagi para pelaku bisnis dalam mengarungi persaingan usaha, sebagai berikut :
a. Bertransaksi secara ribawi.
b. Penipuan (curang dalam timbangan,tidak jujur, kebohongan dan ingkar janji.
c. Mengkonsumsi hak milik orang lain dengan cara yang batil
d. Tidak menghargai prestasi
e. Partnership yang invalid
f. Pelanggaran dalam pembayaran gaji dan hutang
g. Penimbunan
h. Penentuan harga yang fix
i. Proteksionisme
j. Monopoli
k. Melakukan hal yang dapat melambungkan harga
l. Tindakan yang menimbulkan kerusakan
m. Pemaksaan

Secara spesifik dalam bersaing secara sehat dan Islami beberapa hal tersebut dibawah ini merupakan pedoman bagi pelaku bisnis :
1. Tidak menghalalkan segala cara
2. Berupaya menghasilkan produk berkualitas dan pelayanan terbaik sesuai syariah.
3. Memperhatikan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan aqad-aqad bisnis

G. KESIMPULAN

4. Ekonomi Islam adalah ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan).
5. Kegiatan Bisnis dalam Islam adalah merupakan kegiatan yang halal sepanjang dilaksanakan dalam koridor-koridor syariah
6. Dalam Islam azas kebebasan dalam berekonomi merupakan sesuatu hal yang sangat fundamental. Kebebasan ekonomik adalah tiang pertama dalam struktur pasar Islami, yang didasarkan atas ajaran-ajaran fundamental Islam, diantaranya prinsip tanggung jawab dan kebebasan .
7. Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang tertuang dalam Undang-undang RI no. 5 tahun 1999, merupakan suatu tata aturan yang secara prinsip banyak yang sejalan dengan nilai-nilai syariah , meski belum menampun secara keseluruhan.
8. Pendekatan atas kepatuhan terhadap tata nilai persaingan yang positip dalam Islam bagi para pelakunya didasarkan terhadap faktor keimanan atau tauhid .

H. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim G Nusantara, Benny Karman, Analisa Dan Perbandingan Undang-undang Anti Monopoli, Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Elex Media Komputindo,Jakarta,1999

Dr. Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam (terjemahan), Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2001.

M. Doddy Kusadrianto, Menciptakan Persaingan Usaha Yang Sehat, Makalah pada website www. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjayakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Gema Insani Pers, Jakarta, 2002.

Prof. K.H. Ali Yafie dkk, Fiqih Perdagangan Bebas, TERAJU,Jakarta, 2003

webmaster@pesantrenonline .com , Konsep Ekonomi Islam Tentang Kerjasama (artikel)

Tidak ada komentar: